Jakarta – PT. Elite Prima Hutama (EPH), sebuah perusahaan pengembang terkemuka, telah melaporkan Dr. Ike Farida, SH., LL.M, terkait dugaan tindak pidana sumpah palsu dan pemalsuan dokumen dalam proses persidangan. Kasus ini melibatkan pernyataan yang diucapkan oleh Dr. Ike dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) pada tahun 2021, yang dinilai merugikan EPH.
Dugaan Tindak Pidana:
Pasal 242 KUHP dan/atau Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP tentang dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu dan/atau pemalsuan dan/atau menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik, dengan ancaman hukuman hingga 7 tahun penjara.
Posisi Kasus:
Kuasa EPH melaporkan IF karena dalam persidangan Peninjauan Kembali (PK) tahun 2021, IF melakukan sumpah di muka persidangan melalui kuasanya terkait pernyataan telah menemukan surat bukti baru atau novum berupa pencatatan pelaporan akta perjanjian perkawinan pisah harta yang dicatatkan pada halaman belakang buku nikah, padahal pencatatan pelaporan tersebut sudah pernah digunakan dalam sidang banding tahun 2017 (sebagai bukti P7). Atas kejadian tersebut EPH merasa jadi korban yang dirugikan kemudian melaporkan ke SPKT Polda Metro Jaya (No. LP/B/4738/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya Tanggal 24 September 2021). Perkara pidana ini dalam proses persidangan di PN Jakarta Selatan dengan No. 611/Pid.B/2024/PN JKT.SEL.
Fakta-fakta Kasus:
- Pada 26 Mei 2012 IF membeli 1 unit apartment Casa Grande Residence dengan surat pesanan dan membayar 10 juta, kemudian 30 Mei 2021 IF membayar lunas 3,04 M.
- Ketika akan dibuat PPJB dan AJB ditolak oleh EPH karena IF bersuamikan WNA asal Jepang dan tidak memiliki Perjanjian perkawinan pisah harta. Sesuai ketentuan hukum berlaku saat itu bahwa WNI yang kawin campur dengan WNA jika ingin membeli aset di Indonesia harus memiliki perjanjian perkawinan pisah harta. Dasar hukumnya yaitu Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2015 tentang Pemilikan tanah tempat tinggal atau hunian orang asing yang berkedudukan di Indonesia, dan Pasal 70 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2021 tentang Hak pengelolaan, Hak Atas tanah, Satuan rumah susun, dan Pendaftaran tanah.
- EPH telah menawarkan pengembalian uang secara utuh kepada IF, namun IF menolak pengembalian tersebut. Bahkan pada tahun 2014, EPH sudah menitipkan uang tersebut melalui konsinyasi di PN Jakarta Selatan, namun IF tetap menolak menerimanya. Hal ini membuktikan bahwa EPH sudah beritikad baik untuk menyelesaian perkara ini.
- Kemudian pada tahun 2015 IF menggugat EPH ke PN Jaksel – 2015 (IF Kalah/Ditolak), IF melakukan Banding – 2018 (IF Kalah/Ditolak), IF mengajukan Kasasi – 2018 (IF Kalah/Ditolak), kemudian IF mengajukan Peninjauan Kembali (PK) – 2021 (Gugatan IF Dikabulkan).
- Baru pada tahun 2017 IF dan suaminya (WNA asal Jepang) membuat perjanjian perkawinan pisah harta yang diaktakan oleh Notaris Cahriani, SH., M.Kn., yang kemudian digunakan sebagai bukti di tingkat Banding. Namun banding IF tidak dikabulkan, begitu pula pada tingkat kasasi.
- Kemudian IF mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam Persidangan PK pada tanggal 4 Mei 2020 dilaksanakan Pengambilan Sumpah Penemuan Bukti Baru atau Novum tersebut yang dilakukan Kuasa Hukum IF berdasarkan surat kuasa khusus dari IF tertanggal 22 Februari 2020. Advokat/pengacara dilindungi UU Advokat untuk bertindak atas nama pemberi kuasa, oleh karena itu pertanggungjawaban hukum atas sumpah penemu bukti baru atau novum tersebut terletak pada pemberi kuasa yaitu IF.
- Bahwa Bukti baru atau Novum yang diajukan dalam PK tersebut ternyata adalah berupa :
(1) pencatatan pelaporan akta perjanjian perkawinan No. 5 tanggal 25 April 2017 yang telah dicatatkan pada halaman belakang buku nikah yang sudah sudah pernah digunakan dalam sidang banding tahun 2017 ( sebagai bukti P7 Banding),
(2) Surat Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan DKI Jakarta No.107/-1.785.51, tertanggal 11 Februari 2020, dan
(3) Surat Badan Pertanahan Nasional DK Jakarta No. 3212/7.31.200/XI/2015, tertanggal 27 November 2015.
- Bahwa dalam sumpah dimuka sidang yang dilakukan oleh IF melalui kuasanya dinyatakan bahwa bukti baru atau novum tersebut belum pernah digunakan pada perkara sebelumnya, namun kenyataannya ketiga bukti tersebut sudah pernah digunakan.
- Bahwa berdadasarkan fakta tersebut di atas, maka patut diduga IF telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 242 KUHP dan/atau Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP tentang dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu dan/atau pemalsuan dan/atau menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik, dengan Andaman hukuman hingga 7 tahun penjara.
Proses Persidangan:
- Sidang Pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah dilangsungkan pada Senin, 23 September 2024;
- Sidang kedua dengan agenda penyampaian eksepsi dari terdakwa (IF) akan dilaksanakan pada Senin, 7 Oktober 2024.
Dari uraian di atas, maka tampak jelas dan terang-benderang bahwa:
- EPH adalah pengembang yang punya reputasi terpercaya dan selalu taat hukum.
- Pada tahun 2012 EPH tidak merealisasikan pembelian unit apartemen kepada IF dikarenakan IF bersuamikan WNA (Jepang) yang tidak memilik perjanjian perkawinan pisah harta, sementara hukum Indonesia mengatur bahwa setiap perkawinan campur WNI dengan WNA harus memiliki perjanjian perkawinan jika ingin melakukan pembelian aset.
- EPH adalah pengembang yang bekerja sesuai dengan koridor hukum. Terkait laporan pidana dugaan sumpah palsu terhadap IF itu sepenuhnya berdasarkan fakta-fakta hukum yang nyata.
- EPH sangat menghargai konsumen, dan sejak awal telah memiliki itikad baik untuk menyelesaiakan perkara secara damai terbukti dengan kesediaan mengembalikan uang pembelian yang telah dibayar kepada IF.
Patut diduga ada kepentingan tersembunyi dari terdakwa IF dengan cara memanfaatkan perkara ini untuk mencari keuntungan pribadi, mengingat IF adalah seorang terpelajar dan berpendidikan tinggi yang memiliki pengetahuan hukum yang luas.